JAKARTA, Teraslampung.com -- Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang pengelolaan sampah dan lingkungan hidup akan mengajukan permohonan uji materiil terhadap Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar (“Perpres Percepatan PLTSa”).

Permohonan uji materiil ini akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), BaliFokus, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Greenpeace Indonesia, KRuHA dan Gita Pertiwi.

Menurut Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL, Margaretha Quina, ada lima alasan uji materiil mengapa diajukan.

 “Pertama, Perpres ini mempromosikan hanya percepatan PLTSa teknologi termal, yang justru tidak ramah lingkungan. Padahal UU Pengelolaan Sampah khususnya Pasal 29 ayat (1) huruf g melarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis," ” jelas Quina di Jakarta, Jumat (3/6).

Kedua, kata Quina, lepasan pencemar berbahaya dan beracun dari PLTSa, termasuk pencemar yang bersifat persisten dan sulit dipulihkan kembali, sehingga bertentangan dengan UU Pengelolaan Sampah, UU Kesehatan dan UU Ratifikasi Konvensi Stockholm.

Ketiga, percepatan PLTSa bertentangan dengan asas dan tujuan UU Pengelolaan Sampah, yang secara eksplisit menghendaki perubahan paradigma pengelolaan sampah ke arah pengurangan, komprehensif dan tidak hanya berfokus pada timbunan sampah di hilir.

"Keempat, Perpres Percepatan PLTSa yang mengizinkan konstruksi dimulai sebelum pengembang mendapatkan Izin Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan bertentangan dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," katanya.

Kelima, berkaitan dengan skema penunjukan langsung terhadap pengembang PLTSa, pembebanan biaya pembangunan proyek dan biaya pembelian listrik, yang sesungguhnya tidak layak secara ekonomi di dalam APBN, terdapat potensi pelanggaran UU Jasa Konstruksi dan UU Ketenagalistrikan,.

Hal senada juga disampaikan oleh Senior Advisor BaliFokus, Yuyun Ismawati, peraih Goldman Environmental Prize 2009 atas kiprahnya dalam pengelolaan sampah dan pembangunan berkelanjutan. “Pada akhirnya, karena sampah Indonesia pada umumnya basah, tidak mungkin pembakaran dapat dilakukan sesuai persyaratan teknis tanpa menambahkan bahan bakar fosil dan proses pengeringan yang memakan biaya yang cukup signifikan dan memboroskan energi,” kata Yuyun.

“Kesehatan lingkungan dijamin sebagai hak semua orang. Dan kita punya  komitmen internasional terkait pengurangan emisi dan lepasan POPs (persistent organic pollutants), namun pemerintah justru mempromosikan teknologi yang akan mengeluarkan pencemar persisten, logam berat dan abu sisa bakaran yang bersifat B3,"kata Yuyun.

Yuyun mengatakan, pihaknya telah menyampaikan kekuatiran kami di atas kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta kepada Presiden sebelum Perpres diterbitkan. Namun, kata dia,  Perpres Percepatan PLTSa diundangkan tanpa melakukan studi-studi yang kami rekomendasikan dan tanpa proses konsultasi publik.

"Kami berharap Mahkamah Agung dapat melihat permasalahan hukum dalam Perpres ini dengan bijak,” tegas Yuyun.

Terpisah, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Henri Subagiyo mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam proyek-proyek percepatan.

“Jangan sampai menggunakan alur yang bertentangan dengan logika dan tujuan AMDAL dan Izin Lingkungan, serta berpotensi menempatkan pertimbangan lingkungan hanya sebagai formalitas. Pemerintah harus taat dengan alur perizinan yang dimandatkan perundangundangan,” ujarnya.

Permohonan uji materiil ini akan diajukan ke Mahkamah Agung pada bulan Juni 2016 ini, sebagai langkah penting untuk menghadang proyek pembangunan PLTSa yang akan dimulai digencarkan di tujuh kota besar Indonesia.

Masyarakat Sipil Indonesia Ajukan Uji Materiil Perpres Percepatan PLTSa