Juara Muli Dan Mekhanai Bandar Lampung 2016 : Prasetya Wibisono dan Ferriska Anggrelita. (Foto: Imkobal)
Pemilihan Muli-Mekhanai tiba-tiba menjadi sorotan publik. Hal itu terjadi setelah Muli-Mekhanai Kota Bandarlampung diketahui tidak bisa menyanyikan lagu bahasa Lampung saat diminta Walikota Bandarlampung. "Berita besar" ini sebenarnya hal biasa saja seandainya tidak tersebar luas di media sosial. Dampaknya: "bully massal" pun mengarah kepada Muli-Meghanai Bandarlampung 2016, Ferriska Anggrelita dan Prasetya Wibisono.

Netizen seolah memosisikan Ferriska dan Prasetyo sebagai orang yang sangat bersalah. Intinya, netizen dan publik di Lampung menilai seharusnya Muli-Mekhanai yang menjadi jawara dalam adu kecantikan dan kegantengan itu juga bisa menyanyikan lagu berbahasa Lampung. Logikanya: mereka hasil pemilihan bujang-gadis layaknya Abang-None di Jakarta, Mas dan Mbak di Jawa Tengah, Koko-Cici (masyarakat Tionghoa), Jaka dan Dara (Sumut), Uni dan Uda (Sumbar), Bujang dan Gadis (Sumsel, Jambi, Bengkulu), Kang dan Nong (Tangerang, Serang),  Mojang dan Jajaka (Bandung, Bogor),Cak dan Ning (Surabaya), dan sejenisnya.

Publik paham bahwa pemilihan Muli-Mekhanai dan sejenisnya itu bukan semata-mata pemilihan gadis dan perjaka paling cantik dan ganteng plus pintar. Di balik kontes itu ada niat luhur untuk memajukan seni-budaya-pariwisata lokal. Jika beruntung, para jawara itu nantinya akan mewakili daerahnya ke ajang serupa dengan jenjang lebih tinggi dan lebih bergengsi.

Publik pun sebenarnya juga mafhum bahwa ajang serupa itu sangat penting membangun regenerasi orang-orang muda yang 'melek' terhadap seni-budaya dan potensi wisata daerahnya sendiri. Sebab itu, harapan bagi calon terpilih kerap terlalu tinggi. Misalnya, harapan agar Muli-Mekhanai terpilih adalah sosok anak  muda cantik dan tampan yang benar-benar menggambarkan pemudi-pemuda ideal Lampung. Ideal artinya selain cantik dan ganteng mereka juga pintar, visioner, paham nilai-nilai budaya Lampung, dan sebagainya.

Dalam konteks ini, bisa menyanyikan lagu Lampung adalah bentuk konkret dari paham nilai-nilai budaya Lampung. Warga Kota Bandarlampung (dan Lampung) pada umumnya boleh saja tidak bisa menyanyikan lagu berbahasa Lampung. Namun, memang, menjadi agak aneh jika Muli dan Mekhanai yang notabenenya akan menjadi duta wisata Bandarlampung tidak bisa menyanyikan lagu Lampung. Sebenarnya 2-3 lagu Lampung tidak apa-apa.Yang penting bisa dan paham maknanya.

Apakah Ferriska Anggrelita dan Prasetya Wibisono bersalah dan layak di-bully? Pertanyaan sederhana ini tidak bisa dijawab dengan mudah. Sebab, dampak ikutannya bisa sangat panjang atau bisa menyebabkan anak pinak pertanyaan lain. Misalnya: apakah Muli-Mekhanai terdahulu dulu itu semuanya bisa menyanyikan lagu Lampung? Apakah proses penjurian dilakukan secara adil? Apakah Dinas Pariwisata hanya mementingkan proyek ketimbang proses dan hasil yang bagus? Apakah 'paham budaya Lampung' dan 'bisa menyanyikan lagu Lampung' juga menjadi kriteria penilaian? Dan sebagainya.

Pada titik inilah kita mestinya sedikit bijak juga. Jangan-jangan Dinas Pariwisata Kota Bandarlampung tidak menempatkan keterampilan berbahasa atau menyanyi Lampung sebagai unsur penilaian. Jangan-jangan peserta Muli-Mekhanai yang penting cantik, ganteng, pintar. Kalau itu kriterianya, maka Ferriska dan Prasetya tidak salah. Yang salah adalah sistem yang membuat Muli-Mekhanai sekadar ajang selebrasi tahunan dengan hitung-hitungan nilai proyek, tidak transparan, dan sekadar menjalankan ritus.

Oyos Saroso H.N.


SIMAK: 
Tidak Bisa Menyanyikan Lagu Lampung, Muli Mekhanai Bandarlampung 2016 Dinilai Gagal

Mengapa Muli-Mekhanai Kota Bandarlampung Harus Di-"bully"?

Juara Muli Dan Mekhanai Bandar Lampung 2016 : Prasetya Wibisono dan Ferriska Anggrelita. (Foto: Imkobal)
Pemilihan Muli-Mekhanai tiba-tiba menjadi sorotan publik. Hal itu terjadi setelah Muli-Mekhanai Kota Bandarlampung diketahui tidak bisa menyanyikan lagu bahasa Lampung saat diminta Walikota Bandarlampung. "Berita besar" ini sebenarnya hal biasa saja seandainya tidak tersebar luas di media sosial. Dampaknya: "bully massal" pun mengarah kepada Muli-Meghanai Bandarlampung 2016, Ferriska Anggrelita dan Prasetya Wibisono.

Netizen seolah memosisikan Ferriska dan Prasetyo sebagai orang yang sangat bersalah. Intinya, netizen dan publik di Lampung menilai seharusnya Muli-Mekhanai yang menjadi jawara dalam adu kecantikan dan kegantengan itu juga bisa menyanyikan lagu berbahasa Lampung. Logikanya: mereka hasil pemilihan bujang-gadis layaknya Abang-None di Jakarta, Mas dan Mbak di Jawa Tengah, Koko-Cici (masyarakat Tionghoa), Jaka dan Dara (Sumut), Uni dan Uda (Sumbar), Bujang dan Gadis (Sumsel, Jambi, Bengkulu), Kang dan Nong (Tangerang, Serang),  Mojang dan Jajaka (Bandung, Bogor),Cak dan Ning (Surabaya), dan sejenisnya.

Publik paham bahwa pemilihan Muli-Mekhanai dan sejenisnya itu bukan semata-mata pemilihan gadis dan perjaka paling cantik dan ganteng plus pintar. Di balik kontes itu ada niat luhur untuk memajukan seni-budaya-pariwisata lokal. Jika beruntung, para jawara itu nantinya akan mewakili daerahnya ke ajang serupa dengan jenjang lebih tinggi dan lebih bergengsi.

Publik pun sebenarnya juga mafhum bahwa ajang serupa itu sangat penting membangun regenerasi orang-orang muda yang 'melek' terhadap seni-budaya dan potensi wisata daerahnya sendiri. Sebab itu, harapan bagi calon terpilih kerap terlalu tinggi. Misalnya, harapan agar Muli-Mekhanai terpilih adalah sosok anak  muda cantik dan tampan yang benar-benar menggambarkan pemudi-pemuda ideal Lampung. Ideal artinya selain cantik dan ganteng mereka juga pintar, visioner, paham nilai-nilai budaya Lampung, dan sebagainya.

Dalam konteks ini, bisa menyanyikan lagu Lampung adalah bentuk konkret dari paham nilai-nilai budaya Lampung. Warga Kota Bandarlampung (dan Lampung) pada umumnya boleh saja tidak bisa menyanyikan lagu berbahasa Lampung. Namun, memang, menjadi agak aneh jika Muli dan Mekhanai yang notabenenya akan menjadi duta wisata Bandarlampung tidak bisa menyanyikan lagu Lampung. Sebenarnya 2-3 lagu Lampung tidak apa-apa.Yang penting bisa dan paham maknanya.

Apakah Ferriska Anggrelita dan Prasetya Wibisono bersalah dan layak di-bully? Pertanyaan sederhana ini tidak bisa dijawab dengan mudah. Sebab, dampak ikutannya bisa sangat panjang atau bisa menyebabkan anak pinak pertanyaan lain. Misalnya: apakah Muli-Mekhanai terdahulu dulu itu semuanya bisa menyanyikan lagu Lampung? Apakah proses penjurian dilakukan secara adil? Apakah Dinas Pariwisata hanya mementingkan proyek ketimbang proses dan hasil yang bagus? Apakah 'paham budaya Lampung' dan 'bisa menyanyikan lagu Lampung' juga menjadi kriteria penilaian? Dan sebagainya.

Pada titik inilah kita mestinya sedikit bijak juga. Jangan-jangan Dinas Pariwisata Kota Bandarlampung tidak menempatkan keterampilan berbahasa atau menyanyi Lampung sebagai unsur penilaian. Jangan-jangan peserta Muli-Mekhanai yang penting cantik, ganteng, pintar. Kalau itu kriterianya, maka Ferriska dan Prasetya tidak salah. Yang salah adalah sistem yang membuat Muli-Mekhanai sekadar ajang selebrasi tahunan dengan hitung-hitungan nilai proyek, tidak transparan, dan sekadar menjalankan ritus.

Oyos Saroso H.N.


SIMAK: 
Tidak Bisa Menyanyikan Lagu Lampung, Muli Mekhanai Bandarlampung 2016 Dinilai Gagal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar